Novel | Melodi Numerik oleh Mutiara Laily (Bab 11-12)

 


Bab XI

Bayang Rumah Yang Hilang


        Matahari yang mulai merunduk di ufuk barat mulai memberikan sentuhan emas ke langit, menciptakan perpaduan warna jingga, merah, dan ungu yang memukau. Pohon-pohon dan bangunan melemparkan bayangan panjang di permukaan tanah, memberikan kesan damai dan lembut.

            Setelah sampai di rumah, Karl segera membersihkan dirinya juga mengobati luka-luka di tubuhnya. Karl merintih pelan saat air menyentuh luka yang ada di tubuhnya. Bibirnya terkatup erat, dan matanya memancarkan ekspresi kesakitan tersebut mencoba untuk menahan air mata yang mungkin ingin menetes.

            Rasa cemas dalam dirinya tak kunjung menghilang, ia takut dengan kemarahan Papanya nanti. Hari itu ia tidak datang les, keadaan sedang tidak memungkinkan Karl untuk bisa fokus dalam pelajaran. Ia masuk ke kamarnya dan mulai membuka bukunya untuk mempelajari pelajaran hari esok.

            Malam telah menyelimuti dunia dengan selimut gelapnya, dan langit dipenuhi oleh ribuan bintang yang berkilau. Suasana malam memancarkan keheningan dan ketenangan, dan udara semakin sejuk yang membuat orang merasa lebih rileks. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang mengarah ke kamarnya, kemudian terdengar suara ketukan pintu.

Saat pintu terbuka, Karl tiba-tiba membeku di tempat saat melihat kedatangan orang yang tak disangka. Ekspresi wajahnya mencerminkan campuran antara kejutan dan ketidakpercayaan. Bibirnya terbuka sedikit, dan napasnya tersengal seakan-akan terhenti sejenak. Tubuhnya sedikit terdorong ke belakang, memberikan kesan bahwa dia hampir kehilangan keseimbangan akibat kejutan yang begitu tiba-tiba.

Papanya datang menemuinya.

Dengan perasaan emosi Papanya pada malam itu, ia melancarkan tinju pertamanya menemui perut Karl dengan kekuatan penuh. Wajah Karl mengerang, dan tubuhnya meliuk menahan rasa sakit yang meluas dari perutnya. Napasnya terengah-engah, dan tangannya meraih perutnya yang terpukul, mencoba mengurangi rasa sakit yang menusuk di dalamnya.

"Kamu selalu membuat Papa kecewa!" teriak Papanya, sementara mata Karl terisi dengan air mata kesedihan dan frustrasi. Karl mencoba untuk menyampaikan apa yang terjadi dengannya dengan suara yang gemetar, berharap Papa bisa memahaminya.

Sang ayah menunjukkan layar ponselnya dengan emosi yang meluap-luap, ia memperlihatkan video yang tak seharusnya tersebar. Kejutan dan rasa terkejut merebak di wajah Karl. “Seorang temanmu merekam kejadian itu dan menyebarkan videonya di sosial media. Mengapa kamu bertingkah ceroboh!”

“Maaf …” hanya kalimat itu yang terus keluar dari mulut Karl.

Papanya mulai mengungkit tentang susahnya membangun reputasi baik di mata orang banyak.

“Membangun reputasi baik itu tidaklah mudah. Itu seperti membangun tembok satu batu demi satu batu. Harus ada konsistensi, dan tekad. Setelah Papa bisa melalui perjuangan pahit dan kesungguhan itu, orang-orang mulai melihat Papa dengan mata yang berbeda. Mempertahankan reputasi itu sama pentingnya dengan membangunnya. Tindakan bodohmu itu telah meruntuhkan reputasi Papa secara tiba-tiba. Papa sudah memperingatkan untuk menjaga sikap ketika di luar!”

“Aku hanya mencoba membela diri,” sambung Karl.

Papanya mengambil paksa handphone Karl dan menghukumnya untuk tidak keluar dari kamar. Kemudian Papanya pergi lagi untuk menyelesaikan urusannya.

Dalam keheningan malam, Karl merenung menyelami perasaannya yang campur aduk. Wajahnya masih terlihat memerah akibat tangis yang baru saja reda. Setiap kata yang terucap dalam bentakan Papanya masih terasa menggema di telinganya, menciptakan luka emosional yang belum sembuh.

Papanya hanya membawa handphone Karl, tapi tidak dengan laptop. Ia beranjak mengambil laptopnya dan ingin melihat bagaimana cuplikan video yang tersebar itu. Setelah ia menelusuri beberapa akun temannya, akhirnya ia menemukan postingan video itu. Betapa terkejutnya ketika ia melihat banyaknya jumlah penonton yang menyaksikan video itu, yang juga tak luput dari komentar-komentar yang menusuk hati. Tak segan-segan mereka juga mencaci Karl dan menyumpahi Papanya agar kehilangan jabatannya.

Sedihnya, itu bukanlah video keseluruhan dari kejadian tersebut. Video itu dipotong dan hanya pada bagian Karl menonjok temannya, tapi bagian ketika Karl dikeroyok kelompok itu, sayangnya tidak ditayangkan.

Karl mengirimkan pesan pada temannya itu agar ia menghapus postingan tersebut. Namun, apa boleh buat jika sudah banyak orang yang melihatnya. Tak sedikit mungkin dari mereka juga sudah menyebarkan berita itu.

Kemudian muncul notifikasi pesan dari laptopnya, Chandra mengirimkannya pesan sebuah link artikel yang membahas tentang Karl. Judul artikel yang dibuat menurutnya cukup berlebihan. “Jangan Ditonton! Video Penganiayaan Karl Achenwall Anak Seorang Anggota Dewan Yang Menganiaya Seorang Temannya Bisa Bikin Trauma dan Depresi”.

Tentu banyak orang sudah mengetahui berita itu dan membaca artikelnya. Ibunya juga terus mencoba untuk meneleponnya, begitupun Adiknya yang terus mencoba menghubunginya. Karl enggan menjawab. Ia mengabaikan panggilan itu karena takut Papanya tahu dia sedang memakai laptop.

Semakin ramai orang yang mengomentari postingan itu. Karl melihat Chandra sibuk membalas komentar orang-orang di sana. “Betapa bodohnya kalian bisa mempercayai sebuah potongan video, coba lihat versi lengkapnya.” Sementara itu, Karl tidak mencoba untuk membela dirinya, ia takut akan menciptakan masalah baru jika ia ikut berkomentar.

Karl menutup laptopnya dan beranjak ke ranjangnya. Ia mencengkram selimutnya erat-erat, pikirannya masih berkecamuk, dia berharap dapat menemukan jawaban atau setidaknya ketenangan untuk melanjutkan langkah-langkahnya di hari-hari yang penuh liku.


Bab XII

Rasa Kehilangan di Pintu Kematian


            Kekecewaan orang tua adalah melodi kesedihan yang hanya bisa dipahami oleh hati yang sama-sama mencintai, namun juga merasa terhempas oleh harapan yang tak tercapai. Chandra pulang dari tempatnya bekerja, ia disambut oleh Ibunya yang sudah menunggunya di ruang depan. Banyak pertanyaan yang ada di kepala Ibunya saat itu.

            Di ruang makan, Ibunya mulai bertanya tentang kejadian saat di sekolah tadi, “Mengapa kamu terlibat dalam perkelahian itu? Apakah kamu diganggu oleh anak-anak di sana?”

            Chandra menjelaskan bahwa ia kesal dengan perkataan mereka yang menyakitkan, meskipun perkataan itu bukan untuknya, tapi ia dapat merasakan bagaimana rasanya. “Jika Ibu memiliki teman yang di ganggu oleh orang lain, apakah Ibu akan diam saja?”

            “Ibu akan turun membela teman Ibu itu. Tapi, tindakanmu itu juga tidak sepenuhnya dibenarkan, bukan kekerasan yang menjadi solusi dari sebuah konflik.”

            “Ibu hanya takut anak Ibu di ganggu oleh orang-orang di sana. Beri tahu Ibu jika ada orang yang berani mengganggumu. Meskipun Ayahmu sudah tiada, Ibu akan selalu berada di sisimu untuk melindungimu dari apapun.” Dalam hangatnya pelukan Ibu, Chandra merasakan kekuatan tanpa syarat, seperti pelangi yang menyinari hari kelabunya.

 

***

 

Pagi hari menyapa dunia dengan sinar mentari yang lembut, menerangi langit dengan warna oranye dan merah muda yang memukau. Embun perlahan menghilang dari permukaan daun dan rumput, menyisakan kilauan berlian yang berserakan di rerumputan. Udara segar pagi terasa di setiap helaan nafas, memberikan kehidupan baru pada dunia yang terlelap.

Dengan kecepatan sedang, Chandra memandu motornya melalui jalanan kota yang berliku-liku, menikmati pemandangan kemacetan di sekelilingnya. Sampailah ia di sekolah, ia memakirkan motornya dan mulai berjalan ke ruang kelas. Tidak seperti biasanya, ia menjadi orang pertama yang datang. Biasanya Karl selalu menjadi orang pertama yang hadir, namun saat itu ia belum sampai di kelas.

Hingga ketika pelajaran pertama di mulai, Karl tak kunjung datang. Ia tak memberi kabar mengapa tidak masuk begitupun orang tuanya.

Waktu istirahat tiba, Chandra dan Laura akan pergi ke kantin seperti biasanya. Tak sabar ingin menikmati hidangan-hidangan lezat yang dijual di sana. Langkah mereka terhenti ketika mobil ambulance datang melewatinya, mereka bertanya-tanya siapa yang sedang sakit hingga ambulance datang menjemputnya.

Chandra bertanya kepada seorang temannya, “Hei! Mengapa ada mobil ambulance di sini?”

“Karl melompat dari lantai 5, dari rooftop.”

Kedua matanya memancarkan kebingungan dan keheranan, seolah-olah mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Terdengar napasnya yang terhela, menandakan ketidakpercayaan dalam dirinya. Sesaat setelah kabar itu mencapai telinganya, Chandra kemudian mencari penjelasan, mengejar kabar yang mendebarkan tersebut dengan mencari tahu lebih lanjut. Ia dan Laura berlari menuju tempat kejadian perkara.

“Karl? Dia tidak masuk hari ini. Bagaimana bisa?”

Ketika mereka sampai di TKP, yaitu halaman belakang sekolah, mereka melihat kantong jenazah yang akan segera di angkat ke dalam ambulance.

Melihat itu, mereka terduduk lemas, kakinya terasa lemah dan tak berdaya. Pandangan mata mereka terpaku pada kejadian yang ada di depannya. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Hingga mobil ambulance itu mulai berjalan di depan mereka.

Karena kejadian itu, semua murid dipulangkan lebih awal. Karl dan Laura bergegas mengganti pakaiannya dan menuju rumah duka. Karena Karl saat itu diyakini mengakhiri hidupnya sendiri, pihak rumah sakit tidak dapat melakukan otopsi. Jenazah langsung dibawa ke rumah duka untuk disemayamkan.

Chandra berdiri di depan pintu rumah duka dengan perasaan yang berat. Suasana hatinya suram, tercermin dari pakaiannya yang lebih gelap. Ketika memasuki rumah duka, ia meresapi aroma bunga-bunga yang terpajang dengan rapi. Suara langkah kaki di lantai kayu menjadi sorotan di tengah keheningan.

Chandra dan Laura menghampiri keluarga Karl yang sudah lebih dulu datang, mereka membungkukkan badannya sebagai bentuk penghormatan.

Suara tangisan pecah menggema di ruangan, menciptakan lapisan kedukaan yang mencekam. Keluarga duka yang histeris menciptakan suasana yang memilukan. Teriakan terdengar di antara tangisan, anggota keluarga saling mendekap dengan erat.

Chandra mendekati jenazah Karl, saat itu ia masih menyangkal kenyataan bahwa Karl sudah tiada. Ketika ia melihat Karl yang sudah terbujur kaku, matanya penuh dengan rasa kesedihan memandangi jenazah. Tangannya gemetar saat mencoba menyentuh tangan jenazah, ia meletakkan bunga di sekitar peti mati. Ekspresi wajahnya terlihat penuh perasaan, mencoba menahan tangis dan meratapi kehilangan yang dirasakan. Laura yang berada di sisinya senantiasa menguatkan satu sama lain.

 

***

 

Tiba waktunya Karl akan dikebumikan. Keluarga, kerabat, serta teman-teman berkumpul di sekitar peti mati, memberikan penghormatan terakhir pada jenazah. Suasana haru menyelimuti keberangkatan terakhir itu.

Jenazah mulai diletakkan di tempat peristirahatan terakhirnya. Tanah diletakkan secara perlahan-lahan di atas peti mati yang telah diletakkan di liang kubur. Suara tanah yang jatuh menciptakan suasana semakin pilu dan kesan terakhir dari proses pemakaman.


credit pearlail.blog


Setelah momen itu selesai, Chandra dan Laura berjalan keluar dari area pemakaman dan hendak pulang. Terlihat mulai tenang, Chandra memacu motornya di tengah jalanan tanah yang licin, dengan hati-hati ia berusaha menghindari batu-batu yang ada di depannya.

 

🎶…

 

I'm still holdin' on to everything that's dead and gone

I don't wanna say goodbye,

'cause this one means forever

And now you're in the stars

and six-feet's never felt so far

Here I am alone between the heavens and the embers

Oh, it hurts so hard

For a million different reasons

You took the best of my heart

And left the rest in pieces

 

Setelah perjalanan panjang, sampailah ia di rumah. Tubuhnya merunduk tatkala melihat Ibunya menyambut di rumah. Di sampingnya, seorang wanita kuat dengan tatapan tegas dan penuh kehangatan, mendekapnya dengan penuh kasih dan keberanian.

 

"Kematian adalah pelajaran yang sulit tentang kehidupan. Ia mengajarkan kita untuk menghargai setiap momen dan orang yang ada di sekitar kita."

 

 

Langit pagi diselimuti awan tebal, Suasana hatinya redup dan kurang semangat untuk menjalani hari. Seraya memutar kunci kontak, Chandra menghidupkan mesin motornya dan perlahan menuntunnya keluar dari halaman rumah. Pemandangan sekitar terlihat monoton, tanpa sentuhan khusus atau keunikan yang biasanya dapat memberikan kegembiraan di pagi hari.

Sampailah ia di depan sekolah, terlihat di sana banyak mobil-mobil polisi yang terparkir. Setelah ia memakirkan motornya, ia berjalan menuju ruang kelas. Ketika ia sedang berjalan, Laura datang menepuk bahunya seraya berkata, “Kamu penasaran kan bagaimana Karl bisa ada di sekolah? Mari tanya ke polisi di sana.”

Polisi itu mengatakan bahwa ia telah mengecek cctv, di sana memperlihatkan bahwa hari itu Karl memang datang ke sekolah, namun lebih telat dari biasanya. Saat ia mulai menaiki tangga, ternyata ia tidak datang ke ruang kelas, melainkan langsung menuju lantai 3. Sayangnya, cctv setelah lantai 3 tidak dapat berfungsi, rekam kejadian itu hanya terekam sampai di lantai 2.

Polisi itu juga mengantongi sepucuk surat kata-kata terakhir yang ada di saku Karl kala itu, kemudian polisi itu memberikannya pada mereka.

Chandra dan Laura saling menatap dan secara bersamaan mereka berkata, “Ini bukan tulisan tangan Karl.”

 

Rest in peace, Karl.

Farewell, dear friend.


-Tamat-



Profil Penulis

 

Menorehkan Jejak Pertama dalam Dunia Kata

Mutiara Laily. Dalam penuh semangat dan keingintahuan, ia muncul sebagai peneroka baru dalam dunia menulis. Lahir di Bogor pada 04 April 2006. Ia membawa semangat dan mimpi besar dalam tasnya yang sarat dengan buku dan catatan.

Pendidikan formal membawanya melalui jalan yang berliku, tanpa melepaskan kecintaannya pada kata-kata. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, ia mulai merenungkan dunia tulis-menulis dan menemukan keajaiban di setiap baris kalimat.

Melodi Numerik adalah langkah selanjutnya dalam perjalanan menulis, membawa pembaca untuk melihat dunia melalui mata dan imajinasi penulis muda ini. Meskipun masih bersentuhan dengan batas-batas pemula, ia memiliki tekad untuk meraih bintang-bintang di langit menulis.


Pearl Lail

Suka menulis, ingin menjadi astronot.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama