Bab IX
Melepas Penat di Warmindo
Malam
menyapa dengan kedamaian yang dalam, membiarkan langit gelapnya dihiasi oleh
kilauan bintang. Suara gemercik angin malam menari di udara, mengisi kesunyian
dengan kelembutan. Bayangan pepohonan menari-nari di bawah cahaya rembulan,
menciptakan kontras antara kegelapan dan kecerahan.
Jarak warmindo dari supermarket
tidak jauh, sekitar lima ratus meter saja, karena itu mereka memilih untuk
berjalan kaki. Suasana saat itu menjadi tegang nan canggung, seolah-olah
kata-kata yang seharusnya diucapkan terjebak di dalam rongga udara. “Hei
Chandra! Maaf soal kejadian beberapa hari lalu, perkataan saya memang
menyakitkan, tidak seharusnya saya mengucapkan kalimat itu,”
“Saya akan maafkan, tapi tidak
sekarang. Kamu harus membelikan saya mie dengan irisan daging, sayuran dan juga
telur setengah matang,”
“Pemerasan nih. Siap deh!” jawab
Karl dengan mengancungkan jempolnya.
“Sepintar
dan sebaik apapun seseorang, dia juga punya potensi untuk mengecewakan. Dia
bukan sebuah nilai mutlak yang tidak pernah bernilai negatif. Hati manusia
tidak seperti soal matematika yang hanya memiliki satu jawaban tepat.”
Mereka sampai di tempat tujuan. Karl
menghampiri sang penjual untuk memesan, “Pak, permisi. Saya mau pesan dua mie. Yang
pertama, mie dengan irisan daging, sayuran, dan telur soft-boiled. Untuk
yang kedua disamakan saja, namun untuk telurnya hard-boiled saja, Pak,”
“Hei Karl! Kamu harus coba telur
setengah matang, it's really good,” sambung Chandra. Karl menolak hal itu
karena ia tidak menyukai makanan yang di masak setengah matang. Pesanan
selesai, sang penjual segera menyiapkan hidangannya.
“Makan makanan setengah matang atau
mentah dapat menyebabkan risiko infeksi oleh bakteri, parasit, atau virus yang
dapat terdapat dalam makanan tersebut. Penting untuk memasak makanan secara
menyeluruh agar mencapai suhu yang aman untuk membunuh bakteri dan
mikroorganisme berbahaya. Juga risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi
makanan dapat berdampak pada kehamilan,” ucap Karl ketika ia menghampiri meja
makan yang sudah ditempati Chandra.
“Karl? Jadi, selama ini kamu hamil?
Wah! Sudah berapa bulan, Bund?” ledek Chandra sembari memegang perut Karl.
“Hei! Kenapa kamu hanya fokus
terhadap kata kehamilan, padahal saya menjelaskan banyak hal barusan.”
“Karl … itu hanya akan ber-efek ketika
kamu mengonsumsi setumpuk telur. Jika hanya satu telur yang di makan, bakteri
itu hanya menumpang lewat saja bersama makanan lain di dalam organ-organ. Akhirnya
juga akan menjadi kotoran,” ucap Chandra dengan ekspresi meyakinkan Karl.
Di tengah obrolan mereka, sang
penjual datang membawakan makanan yang sudah di pesan. Ketika penjual itu
menyusun hidangan-hidangan lezat di atas meja, itu menciptakan pemandangan yang
menggiurkan. Aromanya begitu menggoda saat penjual itu menyajikan makanan yang
masih hangat.
Penjual
juga menawarkan minuman. “Dua botol air putih saja, Pak” ucap Karl. Chandra
tidak menyetujui hal itu, “Tidak Pak. Satunya es teh manis saja.”
Karl
tetap bersikeras, “Dua botol air putih saja, Pak.” Penjual terlihat
kebingungan.
“Tapi,
saya tidak suka susu plain, Karl,” pungkas Chandra.
“Baik
Pak, maaf sudah membuatmu bingung. Dua botol air mineral saja, Pak,” sambung
Karl. Penjual itu terdengar tertawa geli kemudian ia kembali ke dapur untuk mengambilkan
minumannya.
“Jadi,
kita pesan apa, Karl?” tanya Chandra. Karl menyuruhnya untuk melanjutkan makan
dan tidak lagi mengajaknya berbicara.
Dalam
keheningan, suara gigitan dan rasa yang meledak-ledak menciptakan harmoni cita
rasa. Dengan setiap suapan yang masuk mulut, rasa lezat dari hidangan itu cukup
menggoyang lidah. Aroma dan rasa yang terpancar dari hidangan ini membuat
setiap suapan begitu dinikmati. Momen ini, duduk di meja makan dengan makanan
yang nikmat, adalah waktu yang penuh kenikmatan.
“It's
so good,” ucap Karl.
“No
doubt,” sambung Chandra.
“Karl,
kamu tidak memakai masker?” tanya Chandra. Karl memasang wajah bingung, mengapa
tiba-tiba dia menanyakan hal itu. “Lah, emang kenapa?”
“Di
dalam telur setengah matang di mangkokku ini kan terdapat virus seperti katamu
tadi, cepat cari masker agar kamu tidak tertular.” Karl tidak bisa di ajak
bercanda, ia menyuruh Chandra untuk berhenti berbicara, karena itu akan merusak
nafsu makannya.
Penjual
itu pun datang membawakan dua botol air mineral. Penjual itu meyakinkan mereka
bahwa pesanannya sudah terpenuhi semua, mereka mengiyakan hal tersebut.
“Karl,
uangmu banyak tapi kenapa hanya memesan air mineral? Kamu bisa saja memesan jus
atau minuman mahal lainnya,” tanya Chandra.
“Kesehatan
lebih berharga daripada kekayaan materi. Saya bisa jadi miskin kalau harus
bolak-balik rumah sakit nanti.” Chandra tertegun mendengar jawaban itu.
Sebenarnya
Karl sangat ingin menanyakan suatu hal ke Chandra, namun hal itu belum sempat
terucapkan olehnya. Hingga akhirnya ia memberanikan diri bertanya duluan,
“Kamu
bekerja di sana?” tanya Karl.
“Kamu
mengapa bisa sampai di sini?” tanya Chandra.
Pertanyaan
itu diucapkan bersamaan, Karl meminta Chandra untuk menjawab pertanyaannya
lebih dulu.
Chandra
menjawab bahwa ia sudah hampir setahun bekerja paruh waktu di supermarket itu.
Alasan dia melakukan kerja sampingan yaitu untuk membantu ekonomi keluarga. Dia
hanya tinggal berdua dengan Ibunya, Ayahnya sudah lama meninggal. Sebenarnya Ibunya
melarang anaknya untuk bekerja, namun dia mencoba membuktikan pada Ibunya bahwa
ia juga mampu untuk bekerja. Ia bisa membantu membayar kontrakan rumahnya, juga
hutang-hutang yang Ayahnya tinggalkan semasa hidupnya. Karl cukup terharu
mendengar cerita itu, matanya dipenuhi oleh sentuhan emosi yang mendalam. Pada
wajahnya, tergambar kerutan senyum yang tulus, menyiratkan cerita itu cukup
menyentuh baginya.
"Uang bukanlah segalanya, tetapi
keberhasilan finansial memberikan kebebasan untuk menjalani hidup dengan lebih
tenang."
Karl
berkata bahwa ia sudah datang dua kali ke supermarket itu. Namun saat pertama
kali ia sampai di sana, ia tidak melihat Chandra.
“Wah!
Berarti pendengaran saya saat itu benar. Saya pernah mendengar suaramu beberapa
hari lalu di jam yang sama seperti saat kita berjumpa tadi. Saat itu saya
sedang berada di gudang penyimpanan barang, saya keluar untuk memastikan apakah
itu benar dirimu, namun saya tidak menemukanmu diluar sana,” sambung Chandra.
Karl
membenarkan hal itu. Beberapa hari lalu ia memang datang untuk membeli jas
hujan, dan ia segera bergegas untuk pulang karena saat itu kondisinya hujan. Ia
menceritakan betapa terkejutnya ketika tahu temannya yang menjadi kasir saat
itu.
“Lalu,
bagaimana kau bisa sampai di sini? Bukannya rumahmu itu jauh dari daerah sini?”
tanya Chandra.
Karl
menjawab bahwa ia mengikuti les di dekat daerah tersebut. Itu adalah alasan
mengapa ia bisa sampai di sana. Chandra kembali bertanya alasan Karl datang ke
supermarket itu lagi. “Saya ingin membeli ice cream untuk adik saya, karena saya
sudah janji padanya. Namun ketika melihatmu tadi, saya terlintas ingin minta
maaf, Musa telah menyadarkan saya bahwa perkataan saya saat itu cukup
menyakitkan. Ice cream yang seharusnya untuk adik saya itu malah sudah saya
makan karena menunggumu selesai bekerja, nanti saya mau beli lagi,” jawab Karl.
Mereka
sudah selesai dengan makanan mereka, waktunya untuk membayar. Karl berjalan ke kasir
dan membayar atas pesanan mereka tadi. “Thanks Karl atas traktirannya
malam ini. Sering-sering ya!” ucap Chandra yang membuat Karl menatapnya sinis.
Mereka mulai berjalan menuju supermarket karena motor mereka terparkir di sana.
“Wah!
‘Menatap Keanggunan: Potret Tampan Seorang Anak Anggota Dewan yang Mencuri
Perhatian’. Wajahmu terpampang jelas di artikel ini, Karl,” seru Chandra
sembari menunjukkan artikel yang ia lihat.
“Anak
berprestasi di sekolah, Karl menuruni sifat ayahnya,” sambung Chandra yang termangu
ketika membaca isi artikel tersebut. “Saya lebih tertantang jika dipanggil anak
pungut sih,” balas Karl dengan tertawa canggung. Suasana menjadi hening, Chandra
merasakan getaran tawa yang ingin muncul di tengah-tengah obrolan mereka. Tawa
bersama-sama mengalir begitu alami, menciptakan momen keceriaan malam itu.
“Saya
punya rencana ingin mengunjungi panti saat akhir pekan nanti.” Mendengar itu, Chandra
juga ingin ikut bersamanya, ia penasaran dengan bagaimana kehidupan berjalan di
sana.
agi
hari, suasana sunyi bagai tanpa kehadiran manusia. Orang tua dan adiknya sedang
pergi ke luar kota, Karl hanya sendiri di rumah. Pagi itu, terdengar suara
langit-langit yang lembut, bayang-bayang sepi memeluk setiap sudut ruangan.
Suasana hening menciptakan ruang untuk merenung, di mana rumah menjadi
pelukannya sendiri, menunggu kehadiran yang akan kembali menghidupkannya.
Karl memasak sarapan untuknya
sendiri, karena pekerja yang bertugas di dapur juga sedang pulang kampung. Ia
membuka kulkas untuk mencari bahan yang bisa ia masak. Ia memutuskan untuk
membuat Avocado Toast dengan Sushi Grade Salmon, roti gandum panggang
dengan lapisan alpukat segar dan juga potongan salmon terdengar menggiurkan.
Terdengar deru mesin yang gagah, Karl memacu motornya untuk menuju sekolah. Dalam keadaan hati-hati, ia melaju di tengah kemacetan kota dengan cekatan, mencari celah untuk melintas. Hingga sampailah ia di sekolah. Setelah motornya sudah terparkir, ia berjalan menuju ruang kelas. Ketika ia sampai kelas, belum ada yang datang selain dia. Ia mengeluarkan buku catatannya, memakai earphone, dan mulai mencatat materi dari video yang ditonton.
Satu
persatu orang-orang mulai datang mengisi ruang kelas, hingga semua bangku sudah
terisi penuh.
Bel berbunyi, tanda pelajaran
pertama akan dimulai. Pagi itu diawali dengan pelajaran Kimia. Dengan sabar dan
pengetahuan yang mendalam, sang guru menjelaskan konsep-konsep yang kompleks,
menciptakan lingkungan belajar yang memotivasi.
Setelah waktu yang panjang, akhirnya
waktu istirahat tiba. Yang sebelumnya merasakan ngantuk selama pelajaran,
ketika bel istirahat berbunyi semua orang kembali segar. Mereka bergegas menuju
kantin dan juga ada yang memakan bekal yang mereka bawa.
“Karl … ayo ikut ke kantin!” seru
Chandra. Musa dan Laura memperlihatkan ekspresi bingung yang jelas, dengan alis
yang sedikit terangkat dan pandangan mata yang mencari pemahaman di antara
kebingungan. Sepertinya pikiran mereka sedang berusaha menyusun puzzle yang
kompleks, mencari jawaban di tengah-tengah kebingungan yang melingkupi. “Loh,
sejak kapan kalian sudah akrab lagi.”
“Tidak, saya tidak ke kantin,” jawab
Karl.
“Ayolah! Kamu harus merasakan jajan
ke kantin,”
“Hmm … okay baiklah,” Karl turut mengajak
Musa bersamanya.
Suasana
kantin sekolah sangat hidup, dengan deru suara tawa dan percakapan yang riuh
rendah memenuhi udara. Bau harum dari variasi makanan menggoda selera,
mencampur aduk dengan aroma kopi yang menguar dari mesin. Antrian panjang di
depan kantin menggambarkan keberagaman pilihan menu, sementara suara kasir yang
berdering memberikan sentuhan harmoni tersendiri. Terdengar pula dentingan
piring dan suara sendok yang beradu, menambah kesan keceriaan di tempat yang
menjadi pusat kegiatan sosial ini.
“Karl,
pilihlah apa yang kamu inginkan. Nanti makan di meja sana, ya,” Chandra
menunjuk sebuah meja, dan ia pergi untuk memesan makanan.
“I'd
like to order a double cheese burger.”
Mereka sudah selesai memesan, dan
aroma harum dari hidangan yang mereka pilih mulai menyebar di sekitar meja.
Senyum kepuasan tergambar di wajah mereka, menandakan antisipasi untuk
menikmati hidangan yang telah mereka pilih bersama.
“Wah! Karl, saya berekspetasi kamu
akan membeli sesuatu yang menyehatkan, seperti smoothie bowl yang cukup
populer di sini. Ternyata kamu membeli a double cheese burger,” ucap
Chandra dengan ekspresi keheranan yang terpancar dari wajahnya ketika melihat
sesuatu yang tak terduga.
“It's cheat day,” Karl
menanggapi dengan tertawa ringan.
Suasana riuh rendah dari percakapan
dan tawa mengiringi setiap gigitan, menciptakan ikatan kebersamaan di sekitar
meja. Perbincangan
mereka terhenti sejenak, Karl menyadari orang-orang di meja sebelahnya sedang
berbicara tentang dirinya.
“Anak pungut tumben banget makan di
kantin,” seru salah orang dari mereka dan menertawakan hal itu.
“Bagaimana dia bisa ada di panti
ya?” tanya seorang anak.
Karl memandang mereka dengan
pandangan yang tajam, dengan jelas sedang memperhatikan mereka yang sedang
membicarakannya. Matanya dengan seksama memantau setiap gerakan dan kata yang
terucap di sekitarnya. Ia akan beranjak ke meja itu setidaknya untuk
memperingati mereka. Chandra menahannya, “Sudahlah, tidak perlu di dengarkan.”
“Mungkin saja ibu bapaknya dulu
tidak menginginkannya, jadi akhirnya ia dibuang ke panti asuhan,” seru seorang
anak dan mereka kembali menertawakannya.
Karl sudah kehilangan rasa
kesabarannya ketika mereka mulai membahas tentang masa lalu kehidupannya. Dengan
langkah berani dan ekspresi tegas, Karl beranjak mendekati orang-orang yang
mengganggunya. Pandangan matanya menusuk tajam, memberikan kesan bahwa dia siap
untuk menegaskan batas dan membela diri.
“Apa? Mau marah?” ucap salah seorang
dari mereka.
Dalam keadaan marah yang memuncak,
Karl melepaskan pukulan tajamnya, menonjok lawannya dengan penuh kekuatan.
Suara hantaman telak dan ekspresi marah pada wajahnya menciptakan momen
ketegangan di ruang itu, seolah menandakan bahwa batas kesabarannya telah
dicapai.
Dengan cepat, Chandra dan Musa
melompat ke tengah-tengah mereka, meraih tangan Karl untuk melerai perkelahian
tersebut. Dengan suara tenang namun tegas, Musa berusaha menenangkan situasi
dan membawa kedua belah pihak menjauh dari konflik yang memanas.
“Lepaskan saya! Kalian tidak tahu
bagaimana rasanya,” dengan suara yang terguncang dan mata yang berkaca-kaca. Dalam
momen kelemahan yang tak terduga, air mata mulai menetes dari mata Karl. Setiap
kata yang terucap diiringi dengan getaran emosional yang mendalam, “Saya tidak
akan diam jika kalian mulai membahas kesalahan yang ibu bapak saya lakukan
dulu, kalian tidak tahu apapun tentang hidup saya.”
Salah seorang pengganggu itu merasa tidak
terima saat temannya jatuh tersungkur karena tonjokan yang diberikan oleh Karl.
Ketika suasana mulai lengah, tinjunya meluncur cepat ke arah wajah Karl yang menciptakan
dentuman keras, menandakan bahwa situasi telah mencapai puncak ketegangan.
Melihat itu, Chandra tidak tinggal
diam. Dengan cepat, ia mengarahkan pukulan tajamnya menuju orang itu. Teman-teman
pengganggu itu semakin tidak terima, keadaan semakin tegang. Karl dan Chandra
dikelilingi oleh sekelompok orang yang saling mendesak, mereka terjebak dalam
situasi yang memprihatinkan. Pukulan dan tendangan datang dari segala arah,
menciptakan kerumunan yang menakutkan di sekitarnya. Wajah mereka mencerminkan
ketidakberdayaan, sementara mereka berusaha bertahan dari serangan sekelompok
orang itu.
Dengan mata terbelalak, orang-orang
yang berada di ruangan itu berdiri di pinggir, memperhatikan perkelahian yang
terjadi di depan mereka. Beberapa di antara mereka mengeluarkan ponsel mereka,
merekam momen itu dengan penuh antusiasme. Suasana tegang terasa di udara,
sementara kamera ponsel tetap merekam detik-detik konflik yang sedang
berlangsung.
Musa dan Laura berlari menuju ruang
guru untuk melaporkan kejadian itu, mereka tidak mampu lagi untuk melerai
perkelahian yang terjadi di sana.
Pukulan
dan teriakan saling berbaur, menciptakan kekacauan di sekitarnya. Kepala
sekolah turun tangan atas kejadian tersebut, “Hei semuanya hentikan! Sudah
cukup. Semuanya datang ke ruangan saya sekarang juga!”
Karl
dan Chandra terlihat terluka dan lemah. Wajah mereka yang dipenuhi luka lebam
yang memancarkan rasa sakit, sedangkan tubuh mereka yang membungkuk
mengisyaratkan kelelahan. Pakaian yang kusut dan berdebu menjadi saksi bisu
dari kejadian pengeroyokan tersebut.
Dengan napas terengah-engah dan
wajah yang penuh kekhawatiran, Laura mendekati kedua temannya yang terluka
setelah pertarungan itu. Tatapan cemasnya mencerminkan keprihatinan yang
mendalam, “Ke UKS dulu yuk! Bersihkan tubuh kalian dan obati setiap
lukanya.”
Karl dan Chandra berjalan menuju
kamar mandi untuk membersihkan tubuh mereka, kemudian Laura dan Musa akan menyiapkan
obat-obatan untuk mengobati luka temannya itu. Kaca di kamar mandi menyadarkan mereka
akan kondisi wajah mereka yang penuh lebam juga darah dan debu yang mengotori
pakaian.
“Tidak seharusnya kamu terlibat
dalam pertarungan tadi, sekarang lihatlah dirimu,” ucap Karl sembari membasuh
wajahnya dengan air mengalir.
“Saya
tahu rasanya menjadi dirimu, saya juga tidak akan tinggal diam jika seseorang
mencoba mengusik kehidupan saya. Hmm ketampanan ini tidak juga meluntur
meskipun wajah ini dipenuhi luka,” jawab Chandra yang sedang memastikan
penampilan dirinya di depan kaca,
Dengan
penuh tulus, Karl menyampaikan rasa terima kasihnya kepada orang yang telah
mencoba membantunya dalam mempertahankan diri. “Terima kasih … saya amat menghargai
itu. Mau saya traktir apa kali ini?”
“Ah! Tidak perlu. Tapi, Pepperoni Pizza
terlihat cukup menggiurkan,”
“Haha,
baiklah. Tentukan saja di mana tempatnya, kita bisa pergi akhir pekan nanti,” jawab
Karl. “Sip! Nanti saya sharelock.”
Mereka sudah selesai dan bergegas
menuju ruang UKS, di sana sudah ada Laura dan Musa. Dengan telaten, mereka berusaha
dengan penuh perhatian untuk mengobati luka di tubuh temannya. Sorot mata
mereka yang fokus dan tangan yang terampil memberikan penggambaran
kehati-hatian dan keahlian dalam proses perawatan.
***
Karl
dan Chandra bergegas menuju ruang kepala sekolah, di sana sudah dihadiri
orang-orang yang terlibat dalam pertengkaran tadi. Mereka diarahkan untuk tetap
berdiri, juga mereka tak lepas dari pukulan rotan oleh kepala sekolah.
“Apa
alasan kalian melakukan hal memalukan seperti tadi? Mau jadi jagoan? Jawab!!”
seru kepala sekolah sembari memukul mereka satu persatu. “Chandra, Karl, kalian
baru saja mendapat peringatan dari sekolah. Sekarang sudah berulah lagi.”
“Mereka
yang mulai duluan, Pak,” jawab Chandra. Mereka saling memojokkan satu sama
lain. Tidak ada yang mau mengakui kesalahan. “Hentikan! Beri tahu orang tua
kalian sekarang untuk datang menemui saya,” ucap kepala sekolah.
Karl dan Chandra saling menatap.
“Pak,
orang tua saya sedang tidak di rumah. Bisa di wakilkan saja?”
Kepala
sekolah menjawab, “Saya bisa menelepon orang tuamu. Bagi yang lain, silahkan
kabari orang tua kalian sekarang.”
Tampak
kecemasan dalam diri Karl, tanda-tanda kekhawatiran jelas terpantul di
wajahnya. Matanya memancarkan ketidakpastian, terkadang melirik ke sekeliling
dengan cepat, seolah-olah mencari jawaban atau kepastian di sekitarnya.
Menyadari
hal itu Chandra berkata,
“Tenang
saja. It’s gonna be okay.”
Chandra
segera menghubungi kantor tempat Ibunya bekerja, Ibunya tidak memiliki handphone.
Sejak handphone milik Ibunya rusak beberapa waktu lalu, Ibunya tak
kunjung membeli yang baru. Padahal, anaknya sudah mengajaknya untuk membeli
yang baru, tapi sang ibu menolak.
Setelah
cukup lama, akhirnya ada yang menjawab telepon kantor, kemudian pihak kantor
memanggil Ibunya Chandra.
“Halo,
Nak. Kenapa?” tanya Ibunya.
“Ibu
bisa datang ke sekolahku sekarang?”
“Apa
yang terjadi denganmu, Chandra?”
“Nanti
aku jelaskan ketika Ibu sampai di sekolah.”
Telepon
dimatikan. Ibunya bergegas datang ke sekolah. Beberapa menit berlalu, sampailah
ibunya di sekolah. Ketika melihat anaknya, ia terkejut dengan kondisi anaknya
saat itu. Chandra memastikan pada Ibunya bahwa ia baik-baik saja. Sebenarnya
masih banyak pertanyaan di kepala Ibunya saat itu, namun ia harus segera
menemui kepala sekolah.
Suasana
siang hari dipenuhi oleh kecerahan cahaya matahari yang memancar dari langit
biru. Panasnya sinar matahari menyelimuti segala sudut, menciptakan bayangan
yang terdefinisi dengan jelas. Langit membiru, hamparan awan putih melaju
perlahan di angkasa, dan pepohonan bergoyang pelan oleh hembusan angin sepoi-sepoi.
Karl
dan Chandra duduk di bangku depan ruang kepala sekolah, menunggu Ibunya keluar
dari ruangan itu. Akhirnya setelah beberapa menit, Ibunya keluar dari ruangan
itu, wajah sang ibu merefleksikan ekspresi marah yang mendalam ketika dia tahu
anaknya terlibat dalam perkelahian.
Bahasa
tubuh dan ekspresi wajahnya sudah cukup untuk menyampaikan ketidakpuasan dan
keinginan untuk menegur anaknya. Chandra meminta maaf, Ibunya memilih untuk
membahas kejadian itu ketika sudah sampai di rumah nanti. Karena Ibunya harus
segera pergi ke kantor, ia tidak diizinkan untuk pergi terlalu lama. Sebelum
ibunya Chandra pergi, Karl menyempatkan diri untuk berkenalan dengannya,
“Halo,
Bu. perkenalkan saya Karl. Maaf karena saya Chandra jadi terlibat dalam masalah
ini.”
“Iya,
Nak. Ibu kecewa kalian telah melakukan hal itu. Ingatlah, kekerasan bukan satu-satunya
jalan keluar dari sebuah konflik.” Setelah memastikan anaknya sudah baik-baik
saja, Ibunya segera pergi menuju kantor.
Karl
menjadi sering menarik napas dalam-dalam atau tampak tidak dapat tenang, terlihat
gerakan tubuhnya yang gelisah, seperti menggesek-gesekkan tangan atau kaki
secara tidak sadar.
“Hei!
Berhenti mencemaskan hal itu.”