Novel | Melodi Numerik oleh Mutiara Laily (Bab 9-10)

 


Bab IX

Melepas Penat di Warmindo


              Malam menyapa dengan kedamaian yang dalam, membiarkan langit gelapnya dihiasi oleh kilauan bintang. Suara gemercik angin malam menari di udara, mengisi kesunyian dengan kelembutan. Bayangan pepohonan menari-nari di bawah cahaya rembulan, menciptakan kontras antara kegelapan dan kecerahan.

            Jarak warmindo dari supermarket tidak jauh, sekitar lima ratus meter saja, karena itu mereka memilih untuk berjalan kaki. Suasana saat itu menjadi tegang nan canggung, seolah-olah kata-kata yang seharusnya diucapkan terjebak di dalam rongga udara. “Hei Chandra! Maaf soal kejadian beberapa hari lalu, perkataan saya memang menyakitkan, tidak seharusnya saya mengucapkan kalimat itu,”

            “Saya akan maafkan, tapi tidak sekarang. Kamu harus membelikan saya mie dengan irisan daging, sayuran dan juga telur setengah matang,”

            “Pemerasan nih. Siap deh!” jawab Karl dengan mengancungkan jempolnya.

 

“Sepintar dan sebaik apapun seseorang, dia juga punya potensi untuk mengecewakan. Dia bukan sebuah nilai mutlak yang tidak pernah bernilai negatif. Hati manusia tidak seperti soal matematika yang hanya memiliki satu jawaban tepat.”

 

            Mereka sampai di tempat tujuan. Karl menghampiri sang penjual untuk memesan, “Pak, permisi. Saya mau pesan dua mie. Yang pertama, mie dengan irisan daging, sayuran, dan telur soft-boiled. Untuk yang kedua disamakan saja, namun untuk telurnya hard-boiled saja, Pak,”

            “Hei Karl! Kamu harus coba telur setengah matang, it's really good,” sambung Chandra. Karl menolak hal itu karena ia tidak menyukai makanan yang di masak setengah matang. Pesanan selesai, sang penjual segera menyiapkan hidangannya.

            “Makan makanan setengah matang atau mentah dapat menyebabkan risiko infeksi oleh bakteri, parasit, atau virus yang dapat terdapat dalam makanan tersebut. Penting untuk memasak makanan secara menyeluruh agar mencapai suhu yang aman untuk membunuh bakteri dan mikroorganisme berbahaya. Juga risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi makanan dapat berdampak pada kehamilan,” ucap Karl ketika ia menghampiri meja makan yang sudah ditempati Chandra.

            “Karl? Jadi, selama ini kamu hamil? Wah! Sudah berapa bulan, Bund?” ledek Chandra sembari memegang perut Karl.

            “Hei! Kenapa kamu hanya fokus terhadap kata kehamilan, padahal saya menjelaskan banyak hal barusan.”

            “Karl … itu hanya akan ber-efek ketika kamu mengonsumsi setumpuk telur. Jika hanya satu telur yang di makan, bakteri itu hanya menumpang lewat saja bersama makanan lain di dalam organ-organ. Akhirnya juga akan menjadi kotoran,” ucap Chandra dengan ekspresi meyakinkan Karl.

            Di tengah obrolan mereka, sang penjual datang membawakan makanan yang sudah di pesan. Ketika penjual itu menyusun hidangan-hidangan lezat di atas meja, itu menciptakan pemandangan yang menggiurkan. Aromanya begitu menggoda saat penjual itu menyajikan makanan yang masih hangat.

Penjual juga menawarkan minuman. “Dua botol air putih saja, Pak” ucap Karl. Chandra tidak menyetujui hal itu, “Tidak Pak. Satunya es teh manis saja.”

Karl tetap bersikeras, “Dua botol air putih saja, Pak.” Penjual terlihat kebingungan.

“Tapi, saya tidak suka susu plain, Karl,” pungkas Chandra.

“Baik Pak, maaf sudah membuatmu bingung. Dua botol air mineral saja, Pak,” sambung Karl. Penjual itu terdengar tertawa geli kemudian ia kembali ke dapur untuk mengambilkan minumannya.

“Jadi, kita pesan apa, Karl?” tanya Chandra. Karl menyuruhnya untuk melanjutkan makan dan tidak lagi mengajaknya berbicara.

Dalam keheningan, suara gigitan dan rasa yang meledak-ledak menciptakan harmoni cita rasa. Dengan setiap suapan yang masuk mulut, rasa lezat dari hidangan itu cukup menggoyang lidah. Aroma dan rasa yang terpancar dari hidangan ini membuat setiap suapan begitu dinikmati. Momen ini, duduk di meja makan dengan makanan yang nikmat, adalah waktu yang penuh kenikmatan.

It's so good,” ucap Karl.

No doubt,” sambung Chandra.


credit pearlail.blog

“Karl, kamu tidak memakai masker?” tanya Chandra. Karl memasang wajah bingung, mengapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu. “Lah, emang kenapa?”

“Di dalam telur setengah matang di mangkokku ini kan terdapat virus seperti katamu tadi, cepat cari masker agar kamu tidak tertular.” Karl tidak bisa di ajak bercanda, ia menyuruh Chandra untuk berhenti berbicara, karena itu akan merusak nafsu makannya.

Penjual itu pun datang membawakan dua botol air mineral. Penjual itu meyakinkan mereka bahwa pesanannya sudah terpenuhi semua, mereka mengiyakan hal tersebut.

“Karl, uangmu banyak tapi kenapa hanya memesan air mineral? Kamu bisa saja memesan jus atau minuman mahal lainnya,” tanya Chandra.

“Kesehatan lebih berharga daripada kekayaan materi. Saya bisa jadi miskin kalau harus bolak-balik rumah sakit nanti.” Chandra tertegun mendengar jawaban itu.

Sebenarnya Karl sangat ingin menanyakan suatu hal ke Chandra, namun hal itu belum sempat terucapkan olehnya. Hingga akhirnya ia memberanikan diri bertanya duluan,

“Kamu bekerja di sana?” tanya Karl.

“Kamu mengapa bisa sampai di sini?” tanya Chandra.

Pertanyaan itu diucapkan bersamaan, Karl meminta Chandra untuk menjawab pertanyaannya lebih dulu.

Chandra menjawab bahwa ia sudah hampir setahun bekerja paruh waktu di supermarket itu. Alasan dia melakukan kerja sampingan yaitu untuk membantu ekonomi keluarga. Dia hanya tinggal berdua dengan Ibunya, Ayahnya sudah lama meninggal. Sebenarnya Ibunya melarang anaknya untuk bekerja, namun dia mencoba membuktikan pada Ibunya bahwa ia juga mampu untuk bekerja. Ia bisa membantu membayar kontrakan rumahnya, juga hutang-hutang yang Ayahnya tinggalkan semasa hidupnya. Karl cukup terharu mendengar cerita itu, matanya dipenuhi oleh sentuhan emosi yang mendalam. Pada wajahnya, tergambar kerutan senyum yang tulus, menyiratkan cerita itu cukup menyentuh baginya.

 

"Uang bukanlah segalanya, tetapi keberhasilan finansial memberikan kebebasan untuk menjalani hidup dengan lebih tenang."

 

Karl berkata bahwa ia sudah datang dua kali ke supermarket itu. Namun saat pertama kali ia sampai di sana, ia tidak melihat Chandra.

“Wah! Berarti pendengaran saya saat itu benar. Saya pernah mendengar suaramu beberapa hari lalu di jam yang sama seperti saat kita berjumpa tadi. Saat itu saya sedang berada di gudang penyimpanan barang, saya keluar untuk memastikan apakah itu benar dirimu, namun saya tidak menemukanmu diluar sana,” sambung Chandra.

Karl membenarkan hal itu. Beberapa hari lalu ia memang datang untuk membeli jas hujan, dan ia segera bergegas untuk pulang karena saat itu kondisinya hujan. Ia menceritakan betapa terkejutnya ketika tahu temannya yang menjadi kasir saat itu.

“Lalu, bagaimana kau bisa sampai di sini? Bukannya rumahmu itu jauh dari daerah sini?” tanya Chandra.

Karl menjawab bahwa ia mengikuti les di dekat daerah tersebut. Itu adalah alasan mengapa ia bisa sampai di sana. Chandra kembali bertanya alasan Karl datang ke supermarket itu lagi. “Saya ingin membeli ice cream untuk adik saya, karena saya sudah janji padanya. Namun ketika melihatmu tadi, saya terlintas ingin minta maaf, Musa telah menyadarkan saya bahwa perkataan saya saat itu cukup menyakitkan. Ice cream yang seharusnya untuk adik saya itu malah sudah saya makan karena menunggumu selesai bekerja, nanti saya mau beli lagi,” jawab Karl.

Mereka sudah selesai dengan makanan mereka, waktunya untuk membayar. Karl berjalan ke kasir dan membayar atas pesanan mereka tadi. “Thanks Karl atas traktirannya malam ini. Sering-sering ya!” ucap Chandra yang membuat Karl menatapnya sinis. Mereka mulai berjalan menuju supermarket karena motor mereka terparkir di sana.

“Wah! ‘Menatap Keanggunan: Potret Tampan Seorang Anak Anggota Dewan yang Mencuri Perhatian’. Wajahmu terpampang jelas di artikel ini, Karl,” seru Chandra sembari menunjukkan artikel yang ia lihat.

“Anak berprestasi di sekolah, Karl menuruni sifat ayahnya,” sambung Chandra yang termangu ketika membaca isi artikel tersebut. “Saya lebih tertantang jika dipanggil anak pungut sih,” balas Karl dengan tertawa canggung. Suasana menjadi hening, Chandra merasakan getaran tawa yang ingin muncul di tengah-tengah obrolan mereka. Tawa bersama-sama mengalir begitu alami, menciptakan momen keceriaan malam itu.

“Saya punya rencana ingin mengunjungi panti saat akhir pekan nanti.” Mendengar itu, Chandra juga ingin ikut bersamanya, ia penasaran dengan bagaimana kehidupan berjalan di sana.


Bab X

Jejak Memori Masa Lalu


agi hari, suasana sunyi bagai tanpa kehadiran manusia. Orang tua dan adiknya sedang pergi ke luar kota, Karl hanya sendiri di rumah. Pagi itu, terdengar suara langit-langit yang lembut, bayang-bayang sepi memeluk setiap sudut ruangan. Suasana hening menciptakan ruang untuk merenung, di mana rumah menjadi pelukannya sendiri, menunggu kehadiran yang akan kembali menghidupkannya.

            Karl memasak sarapan untuknya sendiri, karena pekerja yang bertugas di dapur juga sedang pulang kampung. Ia membuka kulkas untuk mencari bahan yang bisa ia masak. Ia memutuskan untuk membuat Avocado Toast dengan Sushi Grade Salmon, roti gandum panggang dengan lapisan alpukat segar dan juga potongan salmon terdengar menggiurkan.

            Terdengar deru mesin yang gagah, Karl memacu motornya untuk menuju sekolah. Dalam keadaan hati-hati, ia melaju di tengah kemacetan kota dengan cekatan, mencari celah untuk melintas. Hingga sampailah ia di sekolah. Setelah motornya sudah terparkir, ia berjalan menuju ruang kelas. Ketika ia sampai kelas, belum ada yang datang selain dia. Ia mengeluarkan buku catatannya, memakai earphone, dan mulai mencatat materi dari video yang ditonton.


credit pearlail.blog

Satu persatu orang-orang mulai datang mengisi ruang kelas, hingga semua bangku sudah terisi penuh.

            Bel berbunyi, tanda pelajaran pertama akan dimulai. Pagi itu diawali dengan pelajaran Kimia. Dengan sabar dan pengetahuan yang mendalam, sang guru menjelaskan konsep-konsep yang kompleks, menciptakan lingkungan belajar yang memotivasi.

            Setelah waktu yang panjang, akhirnya waktu istirahat tiba. Yang sebelumnya merasakan ngantuk selama pelajaran, ketika bel istirahat berbunyi semua orang kembali segar. Mereka bergegas menuju kantin dan juga ada yang memakan bekal yang mereka bawa.

            “Karl … ayo ikut ke kantin!” seru Chandra. Musa dan Laura memperlihatkan ekspresi bingung yang jelas, dengan alis yang sedikit terangkat dan pandangan mata yang mencari pemahaman di antara kebingungan. Sepertinya pikiran mereka sedang berusaha menyusun puzzle yang kompleks, mencari jawaban di tengah-tengah kebingungan yang melingkupi. “Loh, sejak kapan kalian sudah akrab lagi.”

            “Tidak, saya tidak ke kantin,” jawab Karl.

            “Ayolah! Kamu harus merasakan jajan ke kantin,”

            “Hmm … okay baiklah,” Karl turut mengajak Musa bersamanya.

Suasana kantin sekolah sangat hidup, dengan deru suara tawa dan percakapan yang riuh rendah memenuhi udara. Bau harum dari variasi makanan menggoda selera, mencampur aduk dengan aroma kopi yang menguar dari mesin. Antrian panjang di depan kantin menggambarkan keberagaman pilihan menu, sementara suara kasir yang berdering memberikan sentuhan harmoni tersendiri. Terdengar pula dentingan piring dan suara sendok yang beradu, menambah kesan keceriaan di tempat yang menjadi pusat kegiatan sosial ini.

“Karl, pilihlah apa yang kamu inginkan. Nanti makan di meja sana, ya,” Chandra menunjuk sebuah meja, dan ia pergi untuk memesan makanan.

I'd like to order a double cheese burger.”

            Mereka sudah selesai memesan, dan aroma harum dari hidangan yang mereka pilih mulai menyebar di sekitar meja. Senyum kepuasan tergambar di wajah mereka, menandakan antisipasi untuk menikmati hidangan yang telah mereka pilih bersama.

            “Wah! Karl, saya berekspetasi kamu akan membeli sesuatu yang menyehatkan, seperti smoothie bowl yang cukup populer di sini. Ternyata kamu membeli a double cheese burger,” ucap Chandra dengan ekspresi keheranan yang terpancar dari wajahnya ketika melihat sesuatu yang tak terduga.

            It's cheat day,” Karl menanggapi dengan tertawa ringan.

            Suasana riuh rendah dari percakapan dan tawa mengiringi setiap gigitan, menciptakan ikatan kebersamaan di sekitar meja. Perbincangan mereka terhenti sejenak, Karl menyadari orang-orang di meja sebelahnya sedang berbicara tentang dirinya.

            “Anak pungut tumben banget makan di kantin,” seru salah orang dari mereka dan menertawakan hal itu.

            “Bagaimana dia bisa ada di panti ya?” tanya seorang anak.

            Karl memandang mereka dengan pandangan yang tajam, dengan jelas sedang memperhatikan mereka yang sedang membicarakannya. Matanya dengan seksama memantau setiap gerakan dan kata yang terucap di sekitarnya. Ia akan beranjak ke meja itu setidaknya untuk memperingati mereka. Chandra menahannya, “Sudahlah, tidak perlu di dengarkan.”

            “Mungkin saja ibu bapaknya dulu tidak menginginkannya, jadi akhirnya ia dibuang ke panti asuhan,” seru seorang anak dan mereka kembali menertawakannya.

            Karl sudah kehilangan rasa kesabarannya ketika mereka mulai membahas tentang masa lalu kehidupannya. Dengan langkah berani dan ekspresi tegas, Karl beranjak mendekati orang-orang yang mengganggunya. Pandangan matanya menusuk tajam, memberikan kesan bahwa dia siap untuk menegaskan batas dan membela diri.

            “Apa? Mau marah?” ucap salah seorang dari mereka.

            Dalam keadaan marah yang memuncak, Karl melepaskan pukulan tajamnya, menonjok lawannya dengan penuh kekuatan. Suara hantaman telak dan ekspresi marah pada wajahnya menciptakan momen ketegangan di ruang itu, seolah menandakan bahwa batas kesabarannya telah dicapai.

            Dengan cepat, Chandra dan Musa melompat ke tengah-tengah mereka, meraih tangan Karl untuk melerai perkelahian tersebut. Dengan suara tenang namun tegas, Musa berusaha menenangkan situasi dan membawa kedua belah pihak menjauh dari konflik yang memanas.

            “Lepaskan saya! Kalian tidak tahu bagaimana rasanya,” dengan suara yang terguncang dan mata yang berkaca-kaca. Dalam momen kelemahan yang tak terduga, air mata mulai menetes dari mata Karl. Setiap kata yang terucap diiringi dengan getaran emosional yang mendalam, “Saya tidak akan diam jika kalian mulai membahas kesalahan yang ibu bapak saya lakukan dulu, kalian tidak tahu apapun tentang hidup saya.”

            Salah seorang pengganggu itu merasa tidak terima saat temannya jatuh tersungkur karena tonjokan yang diberikan oleh Karl. Ketika suasana mulai lengah, tinjunya meluncur cepat ke arah wajah Karl yang menciptakan dentuman keras, menandakan bahwa situasi telah mencapai puncak ketegangan.

            Melihat itu, Chandra tidak tinggal diam. Dengan cepat, ia mengarahkan pukulan tajamnya menuju orang itu. Teman-teman pengganggu itu semakin tidak terima, keadaan semakin tegang. Karl dan Chandra dikelilingi oleh sekelompok orang yang saling mendesak, mereka terjebak dalam situasi yang memprihatinkan. Pukulan dan tendangan datang dari segala arah, menciptakan kerumunan yang menakutkan di sekitarnya. Wajah mereka mencerminkan ketidakberdayaan, sementara mereka berusaha bertahan dari serangan sekelompok orang itu.

            Dengan mata terbelalak, orang-orang yang berada di ruangan itu berdiri di pinggir, memperhatikan perkelahian yang terjadi di depan mereka. Beberapa di antara mereka mengeluarkan ponsel mereka, merekam momen itu dengan penuh antusiasme. Suasana tegang terasa di udara, sementara kamera ponsel tetap merekam detik-detik konflik yang sedang berlangsung.

            Musa dan Laura berlari menuju ruang guru untuk melaporkan kejadian itu, mereka tidak mampu lagi untuk melerai perkelahian yang terjadi di sana.

Pukulan dan teriakan saling berbaur, menciptakan kekacauan di sekitarnya. Kepala sekolah turun tangan atas kejadian tersebut, “Hei semuanya hentikan! Sudah cukup. Semuanya datang ke ruangan saya sekarang juga!”

Karl dan Chandra terlihat terluka dan lemah. Wajah mereka yang dipenuhi luka lebam yang memancarkan rasa sakit, sedangkan tubuh mereka yang membungkuk mengisyaratkan kelelahan. Pakaian yang kusut dan berdebu menjadi saksi bisu dari kejadian pengeroyokan tersebut.

            Dengan napas terengah-engah dan wajah yang penuh kekhawatiran, Laura mendekati kedua temannya yang terluka setelah pertarungan itu. Tatapan cemasnya mencerminkan keprihatinan yang mendalam, “Ke UKS dulu yuk! Bersihkan tubuh kalian dan obati setiap lukanya.”

            Karl dan Chandra berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh mereka, kemudian Laura dan Musa akan menyiapkan obat-obatan untuk mengobati luka temannya itu. Kaca di kamar mandi menyadarkan mereka akan kondisi wajah mereka yang penuh lebam juga darah dan debu yang mengotori pakaian.

            “Tidak seharusnya kamu terlibat dalam pertarungan tadi, sekarang lihatlah dirimu,” ucap Karl sembari membasuh wajahnya dengan air mengalir.

“Saya tahu rasanya menjadi dirimu, saya juga tidak akan tinggal diam jika seseorang mencoba mengusik kehidupan saya. Hmm ketampanan ini tidak juga meluntur meskipun wajah ini dipenuhi luka,” jawab Chandra yang sedang memastikan penampilan dirinya di depan kaca,

Dengan penuh tulus, Karl menyampaikan rasa terima kasihnya kepada orang yang telah mencoba membantunya dalam mempertahankan diri. “Terima kasih … saya amat menghargai itu. Mau saya traktir apa kali ini?”

 “Ah! Tidak perlu. Tapi, Pepperoni Pizza terlihat cukup menggiurkan,”

“Haha, baiklah. Tentukan saja di mana tempatnya, kita bisa pergi akhir pekan nanti,” jawab Karl. “Sip! Nanti saya sharelock.”

            Mereka sudah selesai dan bergegas menuju ruang UKS, di sana sudah ada Laura dan Musa. Dengan telaten, mereka berusaha dengan penuh perhatian untuk mengobati luka di tubuh temannya. Sorot mata mereka yang fokus dan tangan yang terampil memberikan penggambaran kehati-hatian dan keahlian dalam proses perawatan.

 

***

 

Karl dan Chandra bergegas menuju ruang kepala sekolah, di sana sudah dihadiri orang-orang yang terlibat dalam pertengkaran tadi. Mereka diarahkan untuk tetap berdiri, juga mereka tak lepas dari pukulan rotan oleh kepala sekolah.

“Apa alasan kalian melakukan hal memalukan seperti tadi? Mau jadi jagoan? Jawab!!” seru kepala sekolah sembari memukul mereka satu persatu. “Chandra, Karl, kalian baru saja mendapat peringatan dari sekolah. Sekarang sudah berulah lagi.”

“Mereka yang mulai duluan, Pak,” jawab Chandra. Mereka saling memojokkan satu sama lain. Tidak ada yang mau mengakui kesalahan. “Hentikan! Beri tahu orang tua kalian sekarang untuk datang menemui saya,” ucap kepala sekolah.

            Karl dan Chandra saling menatap.

“Pak, orang tua saya sedang tidak di rumah. Bisa di wakilkan saja?”

Kepala sekolah menjawab, “Saya bisa menelepon orang tuamu. Bagi yang lain, silahkan kabari orang tua kalian sekarang.”

Tampak kecemasan dalam diri Karl, tanda-tanda kekhawatiran jelas terpantul di wajahnya. Matanya memancarkan ketidakpastian, terkadang melirik ke sekeliling dengan cepat, seolah-olah mencari jawaban atau kepastian di sekitarnya.

Menyadari hal itu Chandra berkata,

“Tenang saja. It’s gonna be okay.”

Chandra segera menghubungi kantor tempat Ibunya bekerja, Ibunya tidak memiliki handphone. Sejak handphone milik Ibunya rusak beberapa waktu lalu, Ibunya tak kunjung membeli yang baru. Padahal, anaknya sudah mengajaknya untuk membeli yang baru, tapi sang ibu menolak.

Setelah cukup lama, akhirnya ada yang menjawab telepon kantor, kemudian pihak kantor memanggil Ibunya Chandra.

“Halo, Nak. Kenapa?” tanya Ibunya.

“Ibu bisa datang ke sekolahku sekarang?”

“Apa yang terjadi denganmu, Chandra?”

“Nanti aku jelaskan ketika Ibu sampai di sekolah.”

Telepon dimatikan. Ibunya bergegas datang ke sekolah. Beberapa menit berlalu, sampailah ibunya di sekolah. Ketika melihat anaknya, ia terkejut dengan kondisi anaknya saat itu. Chandra memastikan pada Ibunya bahwa ia baik-baik saja. Sebenarnya masih banyak pertanyaan di kepala Ibunya saat itu, namun ia harus segera menemui kepala sekolah.

Suasana siang hari dipenuhi oleh kecerahan cahaya matahari yang memancar dari langit biru. Panasnya sinar matahari menyelimuti segala sudut, menciptakan bayangan yang terdefinisi dengan jelas. Langit membiru, hamparan awan putih melaju perlahan di angkasa, dan pepohonan bergoyang pelan oleh hembusan angin sepoi-sepoi.

Karl dan Chandra duduk di bangku depan ruang kepala sekolah, menunggu Ibunya keluar dari ruangan itu. Akhirnya setelah beberapa menit, Ibunya keluar dari ruangan itu, wajah sang ibu merefleksikan ekspresi marah yang mendalam ketika dia tahu anaknya terlibat dalam perkelahian.

Bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya sudah cukup untuk menyampaikan ketidakpuasan dan keinginan untuk menegur anaknya. Chandra meminta maaf, Ibunya memilih untuk membahas kejadian itu ketika sudah sampai di rumah nanti. Karena Ibunya harus segera pergi ke kantor, ia tidak diizinkan untuk pergi terlalu lama. Sebelum ibunya Chandra pergi, Karl menyempatkan diri untuk berkenalan dengannya,

“Halo, Bu. perkenalkan saya Karl. Maaf karena saya Chandra jadi terlibat dalam masalah ini.”

“Iya, Nak. Ibu kecewa kalian telah melakukan hal itu. Ingatlah, kekerasan bukan satu-satunya jalan keluar dari sebuah konflik.” Setelah memastikan anaknya sudah baik-baik saja, Ibunya segera pergi menuju kantor.

Karl menjadi sering menarik napas dalam-dalam atau tampak tidak dapat tenang, terlihat gerakan tubuhnya yang gelisah, seperti menggesek-gesekkan tangan atau kaki secara tidak sadar.

“Hei! Berhenti mencemaskan hal itu.”


Pearl Lail

Suka menulis, ingin menjadi astronot.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama