Novel | Melodi Numerik oleh Mutiara Laily (Bab 7-8)

 

Bab VII

Dalam Bayang-Bayang Otoritas

 

        Waktu istirahat tiba, seperti biasanya Karl dan Musa akan makan di luar kelas, kala itu Karl mengusulkan ingin makan di perpustakaan saja. Sebenarnya terdapat larangan tidak boleh makan di perpustakaan, namun di waktu istirahat tidak ada siswa maupun siswi yang kesana, setidaknya tidak ada yang mengetahui pelanggaran itu. Ketika sampai di perpustakaan, ternyata ada beberapa orang yang juga melanggar peraturan di sana. Akhirnya mereka bergabung dan makan bersama.

Kemudian, terdengar suara dering dari handphone Karl, setelah dilihat ternyata papanya yang menelepon. Ia berjalan keluar untuk mengangkat teleponnya,

            “Karl, siang ini papa diundang pak wali kota untuk makan siang dirumahnya, kamu harus datang juga kesana,”

“Bolehkah saya tidak ikut bersamamu?” Karl ingin menolak undangan tersebut, mengingat kondisi wajah Karl setelah perkelahian tadi. Bagaimana jika pak wali kota menyadari hal itu.

“Tidak boleh. Acara ini wajib dihadiri bersama keluarga, bagaimana reputasi papa jika mereka tahu anaknya tidak ikut bersamanya.” Acara tersebut akan cukup berpengaruh terhadap posisi yang sedang diincar papanya, Karl harus mengikuti perintahnya mau tidak mau.

Kemudian papanya kembali melanjutkan, “Ikuti apa kata papa, kamu tahukan apa yang akan papa lakukan jika kamu tidak mau nurut?”

 

Telepon dimatikan.

 

***

 

Setelah selesai makan, Karl akan pergi ke ruang guru untuk meminta izin pulang duluan. Di dalam ruangan itu, terlihat Chandra sedang mengobrol dengan guru di sana. Ketika Karl memasuki ruangan, guru yang sedang mengobrol dengan Chandra juga turut memanggilnya. Guru itu menanyakan apakah dirinya terluka karena perkelahian itu, namun Karl tidak diinterogasi sama seperti Chandra. Padahal keduanya juga berperan dalam perkelahian itu. Karena kejadian itu, Chandra mendapatkan surat peringatan dari sekolah.

Karl pergi meninggalkan ruangan guru setelah mendapatkan surat izin pulang lebih awal. Tak lupa, salah seorang guru juga menitipkan salamnya untuk pak wali kota.

“Kak, jemput.” Karl melihat notifikasi adiknya mengirimkan pesan padanya. Ia segera pergi menjemput adiknya.

            “Jika nanti ditanya mengapa bibirku terluka, kira-kira alasan apa yang masuk akal? Karena terjatuh? Sepertinya alasan itu masuk akal.” Batin Karl.

Setelah sampai di sekolah, terlihat adiknya sedang menunggu di bangku halaman sekolah,

“Sudah lama menunggu? maaf ya.” Ekspresi wajah adiknya menyusut dan ia melipat bibirnya dengan cemberut, pertanda ia sudah menunggu cukup lama.

“Beli ice cream vanilla, mau?” Karl mencoba membujuk adiknya sembari memasangkannya helm.

“Tidak mau.” Karl memutar otak untuk memikirkan bagaimana cara membujuk adiknya.

Di bawah sinar matahari terik, Karl memacu motor sportnya di sepanjang jalan raya, merasakan getaran mesin yang kuat di bawah kendalinya. Hingga sampai lah mereka di depan rumahnya, cukup banyak mobil yang sudah terparkir, sepertinya itu rekan-rekan Papanya.

Pagar dibuka, halaman depan sudah ramai orang sedang berkumpul, mereka menyapa Karl dan adiknya, kemudian Karl mengarahkan motornya menuju garasi. Ia melepaskan helm yang adiknya kenakan, “Masih marah nih?” tanya Karl. Wajah adiknya mengecil, menciptakan tanda-tanda penolakan atau ketidakbahagiaan. “Tidak.” Adiknya berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya di garasi. “Hal yang sulit kupahami sampai sekarang masih tentang perempuan. Memahami mereka sama sulitnya dengan mengerjakan soal-soal fisika yang dibuat Pak Nasr.”

 

***

 

Di ruang tengah terlihat Papanya sedang mengobrol dengan assistantnya, dia memberikan anggukan hormat kepada Papanya untuk menunjukkan rasa hormat. Ia bergegas masuk ke kamarnya, langkahnya yang cepat dihentikan oleh kecup lembut Ibu di pipinya. Dengan senyum hangat, dia menawarkan pelukan sebagai sambutan pulang. “Itu bibirnya kenapa, Kak?” Karl menjawab karena terjatuh saat menaiki tangga menuju kelasnya, ia beranjak pergi dan akan segera mandi. Sekitar 3 jam lagi ia akan pergi menuju kediaman pak wali kota, ia menyempatkan untuk membaca buku.

Dalam suasana yang hening, terdengar ketukan dari luar pintu yang bergema.

“Kak, aku boleh masuk?”

“Ya, masuk saja.”

“Ini obat untuk dioleskan di lukamu, Kak. Sedang membaca buku apa?” Adiknya juga menyadari luka di bibir Kakaknya, kemudian ia berjalan mendekati Kakaknya,

“Terima kasih, Sophie. Kakak menghargai pemberianmu ini. Jadi, sekarang sudah tidak marah lagi?”

“Aku tidak marah sama kakak, tadi aku hanya kesal sama papa karena dia menyuruhku untuk segera pulang. Padahal, saat itu aku sedang asyik bermain Ouija bersama temanku.”

 

***

 

Mereka mulai pergi meninggalkan rumah menuju kediaman pak wali kota yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Di tengah riuhnya lalu lintas, kendaraan mereka melaju melalui jalan raya yang menggeliat. Karl duduk bersama adiknya di bagian bangku belakang, mereka tertidur sepanjang perjalanan. Tak terasa, perjalanan cukup panjang yang dilalui membawanya menuju rumah pak wali kota.

            Wartawan yang sudah berada di sana langsung mengerubungi keluarga itu, terus memotret, juga mewawancarai terkait pertemuan tersebut. Setelah terlepas dari kejaran para wartawan, mereka mulai masuk ke rumah kediaman pak wali kota, mereka disambut dengan baik.

            Mereka diarahkan menuju ruang makan, dan dijamu dengan berbagai macam makanan dan minuman. Pak wali kota dan Papanya Karl mengobrol terkait pekerjaan mereka, sedangkan yang lain hanya menyimak saja. Hingga pak wali kota bertanya tentang kehidupan Karl, “Tak terasa, kamu sudah sebesar ini Karl, terakhir kali bertemu kamu masih kecil saat itu. Sekarang sudah kelas berapa?”

            “Sudah kelas 12 SMA Pak,” jawab Karl dengan senyuman hangat di wajahnya.

            “Ngomong-ngomong itu bibirmu kenapa?” tanya pak wali kota.

            “Ohh, saya terjatuh saat menaiki tangga menuju kelas pagi tadi.” Papanya menatap wajah anaknya, ia tidak menyadari hal itu sejak di rumah.

            “Dia anak berprestasi di sekolah, selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya. Kepintarannya tentu menurun dari papanya.” Karl tertawa formalitas mendengar ucapan Papanya, begitupun yang lain.

            Makan siang pada hari itu selesai, Karl dan Adiknya berjalan menuju mobil mereka, sedangkan orang tuanya masih mengobrol di dalam.

“Kepintarannya menurun dari Papanya? Haha,” ucap Adiknya ketika di dalam mobil. Mereka pun menertawai setiap ucapan-ucapan yang dilontarkan Papanya saat makan siang tadi. Pencitraan saja, kata mereka.

            Senyum sumringah terukir di wajah Papanya ketika ia mulai memutar kunci kontak, menghidupkan mesin mobilnya dan perlahan keluar dari garasi. “Sepertinya Papa akan mendapatkan posisi itu berkat uluran tangan pak wali kota,” ucap Papanya. Semua mengucap syukur karena itu.

            Setelah perjalanan panjang akhirnya mereka sampai di rumah, Karl terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Kemudian ketika ia berjalan menuju kamarnya, Papanya memanggilnya untuk menemuinya di ruang kerja. “Kamu habis berkelahi, ya?” seru sang ayah. “Tidak, aku hanya terjatuh ketika menaiki tangga pagi tadi.”

            Papanya mulai mendekat dan kembali menanyakan pertanyaan yang sama, dan Karl tetap tidak mau mengakuinya. Papanya mendorong ke tembok dan menahannya.

“Masih tidak mau mengaku? Jawab pertanyaan Papa dengan jujur.” Dengan napas terengah-engah, iapun mengakui hal itu. “Ya. Maafkan aku Pa.”

“Dengar ya, sekali lagi Papa tahu kamu berkelahi, Papa tak segan-segan akan menghukum kamu. Berhati-hatilah dalam bersikap di luar sana, bagaimana jika nama Papa menjadi buruk ketika mereka tahu anak seorang anggota dewan ini melakukan hal-hal buruk diluar.”

“I-iya Pa. Maaf.” Papanya melepas sikunya dari dada Karl dan menyuruhnya untuk kembali ke kamar.

Karl bergegas menuju kamar, wajahnya dipenuhi dengan ekspresi ketegangan. Matanya berkilat marah, dan kedua tangannya menggenggam erat. Dengan napas yang terengah-engah, dia mendekati tembok di dekatnya.

Tanpa ragu, Karl melemparkan tinjunya ke tembok dengan keras. Suara gemuruh terdengar, menyiratkan kekesalan yang mendalam. Pukulan itu dilakukan dengan begitu kuat, hingga kedua tangannya itu terasa sakit. Namun, rasa sakit di tangan tidak sebanding dengan kemarahan yang melanda pikirannya.

Dalam keheningan, tampaknya dia mencoba meredakan kemarahannya yang meluap-luap. Karl mulai menghela napas dalam, mencoba mengembalikan ketenangan pikiran yang sebelumnya terganggu oleh gelombang kemarahan.


***

 

Bulan perlahan menghilang dari pandangan dan bertukar dengan matahari yang perlahan menampakkan diri di atas garis cakrawala. Karl sudah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Di tengah cuaca pagi yang cerah, ia mengendarai motornya di sepanjang jalan raya yang masih sepi, menikmati kesunyian dan keindahan kota yang terlihat menawan saat sepi.

Karl memakirkan motornya, dan mulai berjalan menuju ruang kelas. Sebuah motor melaju dari arah belakang dan baru saja melewatinya. Biasanya di setiap pagi motor itu selalu mengganggunya.

 

Bab VIII

Pertemuan Yang Tak Direncanakan


        Di pagi yang cerah, Chandra mengenakan kacamata hitamnya sambil menikung motornya di jalanan yang sepi, memberikan sentuhan penuh gaya. Sampailah ia di sekolah, menuju tempat parkir, memakirkan motornya dan berjalan menuju ruang kelasnya. Seharusnya, ia masih duduk di samping Karl. Namun, karena ia masih tidak terima dengan perkataan Karl kemarin, ia berbicara dengan Musa untuk bertukar tempat duduk. Karl terlihat tidak peduli dengan hal itu.

            Pelajaran pada pagi itu diawali dengan mata pelajaran Matematika Peminatan oleh Bu Rifdah, dengan materi yang masih sama seperti kemarin yaitu “Limit Fungsi Trigonometri”.

            Pelajaran pertama telah usai, waktunya istirahat. Chandra dan Laura bergegas menuju kantin, terlihat di sana sudah ramai orang yang sedang makan di tempat makan yang disediakan. Ketika Chandra dan Laura sedang mengantri untuk membeli makanan, mereka tidak sengaja mendengar pembicaran sekelompok anak.

“Saya baru tahu, Karl itu anak adopsi di keluarganya,” seru seorang anak. “Saya puas ketika Chandra memberi pelajaran pada anak itu, anak pungut banyak gaya.” Mendengar itu, Chandra menendang meja makan mereka dan meminta mereka menghentikan obrolan itu.

            “Anak adopsi dan anak pungut, jelas berbeda maknanya,” pungkas Chandra dan ia pergi meninggalkan mereka. Chandra dan Laura makan di pojok ruangan dan mengobrol tentang banyak hal, Laura cukup penasaran dengan obrolan Chandra dengan gurunya kemarin, ia memaksa Chandra untuk bercerita,

            “Saat sampai di ruang guru, aku langsung di interogasi oleh wali kelas. Hal yang mereka tanyakan pertama adalah mengapa aku memulai perkelahian itu.” Laura mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Chandra bercerita. “Lalu?”

            “Tidak lama dari itu, Karl datang karena ingin meminta izin untuk pulang. Ia juga dipanggil guru itu, namun ia tidak ditanya pertanyaan sama sepertiku.”

            “Apa yang guru itu tanyakan?” tanya Laura dengan raut penasaran.

            “Guru itu menanyakan bagaimana kabar Karl setelah perkelahian itu, juga menanyakan apakah dia terluka atau tidak.”

            “Ha? Tidak adil. Bagaimana bisa kalian diperlakukan berbeda.” Muka Laura memerah saat mengatakannya.

            “Tahu kan dia anaknya siapa? Karena kejadian kemarin, aku mendapat surat peringatan dari sekolah,” sambung Chandra. Laura menggebrak meja, dan seketika orang-orang di sana memperhatikan mereka.

            Bel berbunyi, Chandra dan Laura bergegas menghabiskan makanan mereka dan pergi menuju kelas.

Hingga tiba waktu kepulangan, Chandra dan Laura berjalan menuju tempat parkir, mereka mulai berpisah dengan lambaian tangan. Dengan kecepatan sedang, Chandra memandu motornya melalui jalan yang berliku-liku, menikmati ricuhnya suasana kota di sekelilingnya.

 

🎶 …

 

Life's like a road that you travel on

When there's one day here, and the next day gone

Sometimes you bend, sometimes you stand

Sometimes you turn your back to the wind

There's a world outside every darkened door

Where blues won't haunt you anymore

Where the brave are free and lovers soar

Come ride with me to the distant shore

We won't hesitate

To break down the garden gate

There's not much time left today, yeah

Life is a highway

I wanna ride it all night long

If you're goin' my way

Well, I wanna drive it all night long

 

Sampailah ia di tempatnya bekerja, ia masuk dan menyapa teman-teman kerjanya. Waktunya shift berganti, ia mengganti seragam sekolah menjadi seragamnya bekerja. Pelanggan yang datang sore itu cukup banyak, kebanyakan dari mereka ingin mencari barang-barang yang sedang viral. Banyak orang yang juga membawa kamera dan membuat konten di sosial media untuk mencoba hal-hal yang sedang viral. Syukur ucapnya, banyak orang yang datang ingin berbelanja.


credit pearlail.blog

Matahari sudah tenggelam, bulan berkesempatan untuk menampakkan dirinya di langit malam. Chandra masih melayani pelanggan-pelanggan yang ingin membayar, hingga ia sadar siapa yang datang berbelanja malam itu.

“Karl?”

“Eh? Chandra,” jawab Karl dengan ekspresi terkejut.

“Pembayarannya mau pakai apa?”

“Cash saja.” Karl masih tidak percaya dengan orang yang ia temui malam itu, “Baik, terima kasih.”

 

***

 

Chandra sudah selesai dengan pekerjannya dan sudah kembali berganti menjadi shift malam. Ia mengganti pakaiannya dan tak lupa ia juga berpamitan dengan teman-teman kerjanya.

Saat ia melangkah keluar, ia tak menyangka Karl masih berada disana, ia duduk mengemper di halaman depan. Chandra memanggilnya. “Di seberang sana ada warmindo tuh, ayo makan kesana! Saya yang traktir malam ini,” seru Karl.


Bab Selanjutnya: https://pearlail.blogspot.com/2024/07/novel-melodi-numerik-oleh-mutiara-laily_68.html


Pearl Lail

Suka menulis, ingin menjadi astronot.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama