Bab VII
Dalam Bayang-Bayang
Otoritas
Waktu
istirahat tiba, seperti biasanya Karl dan Musa akan makan di luar kelas, kala
itu Karl mengusulkan ingin makan di perpustakaan saja. Sebenarnya terdapat
larangan tidak boleh makan di perpustakaan, namun di waktu istirahat tidak ada
siswa maupun siswi yang kesana, setidaknya tidak ada yang mengetahui
pelanggaran itu. Ketika sampai di perpustakaan, ternyata ada beberapa orang
yang juga melanggar peraturan di sana. Akhirnya mereka bergabung dan makan
bersama.
Kemudian,
terdengar suara dering dari handphone Karl, setelah dilihat ternyata papanya yang
menelepon. Ia berjalan keluar untuk mengangkat teleponnya,
“Karl, siang ini papa diundang pak
wali kota untuk makan siang dirumahnya, kamu harus datang juga kesana,”
“Bolehkah
saya tidak ikut bersamamu?” Karl ingin menolak undangan tersebut, mengingat
kondisi wajah Karl setelah perkelahian tadi. Bagaimana jika pak wali kota menyadari
hal itu.
“Tidak
boleh. Acara ini wajib dihadiri bersama keluarga, bagaimana reputasi papa jika
mereka tahu anaknya tidak ikut bersamanya.” Acara tersebut akan cukup berpengaruh
terhadap posisi yang sedang diincar papanya, Karl harus mengikuti perintahnya
mau tidak mau.
Kemudian
papanya kembali melanjutkan, “Ikuti apa kata papa, kamu tahukan apa yang akan
papa lakukan jika kamu tidak mau nurut?”
Telepon
dimatikan.
***
Setelah
selesai makan, Karl akan pergi ke ruang guru untuk meminta izin pulang duluan.
Di dalam ruangan itu, terlihat Chandra sedang mengobrol dengan guru di sana.
Ketika Karl memasuki ruangan, guru yang sedang mengobrol dengan Chandra juga
turut memanggilnya. Guru itu menanyakan apakah dirinya terluka karena
perkelahian itu, namun Karl tidak diinterogasi sama seperti Chandra. Padahal
keduanya juga berperan dalam perkelahian itu. Karena kejadian itu, Chandra
mendapatkan surat peringatan dari sekolah.
Karl
pergi meninggalkan ruangan guru setelah mendapatkan surat izin pulang lebih
awal. Tak lupa, salah seorang guru juga menitipkan salamnya untuk pak wali kota.
“Kak,
jemput.” Karl melihat notifikasi adiknya mengirimkan pesan padanya. Ia segera
pergi menjemput adiknya.
“Jika
nanti ditanya mengapa bibirku terluka, kira-kira alasan apa yang masuk akal? Karena
terjatuh? Sepertinya alasan itu masuk akal.” Batin Karl.
Setelah
sampai di sekolah, terlihat adiknya sedang menunggu di bangku halaman sekolah,
“Sudah
lama menunggu? maaf ya.” Ekspresi wajah adiknya menyusut dan ia melipat
bibirnya dengan cemberut, pertanda ia sudah menunggu cukup lama.
“Beli
ice cream vanilla, mau?” Karl mencoba membujuk adiknya sembari memasangkannya
helm.
“Tidak
mau.” Karl memutar otak untuk memikirkan bagaimana cara membujuk adiknya.
Di
bawah sinar matahari terik, Karl memacu motor sportnya di sepanjang
jalan raya, merasakan getaran mesin yang kuat di bawah kendalinya. Hingga sampai
lah mereka di depan rumahnya, cukup banyak mobil yang sudah terparkir,
sepertinya itu rekan-rekan Papanya.
Pagar
dibuka, halaman depan sudah ramai orang sedang berkumpul, mereka menyapa Karl
dan adiknya, kemudian Karl mengarahkan motornya menuju garasi. Ia melepaskan
helm yang adiknya kenakan, “Masih marah nih?” tanya Karl. Wajah adiknya
mengecil, menciptakan tanda-tanda penolakan atau ketidakbahagiaan. “Tidak.” Adiknya
berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya di garasi. “Hal yang sulit
kupahami sampai sekarang masih tentang perempuan. Memahami mereka sama sulitnya
dengan mengerjakan soal-soal fisika yang dibuat Pak Nasr.”
***
Di
ruang tengah terlihat Papanya sedang mengobrol dengan assistantnya, dia
memberikan anggukan hormat kepada Papanya untuk menunjukkan rasa hormat. Ia
bergegas masuk ke kamarnya, langkahnya yang cepat dihentikan oleh kecup lembut Ibu
di pipinya. Dengan senyum hangat, dia menawarkan pelukan sebagai sambutan
pulang. “Itu bibirnya kenapa, Kak?” Karl menjawab karena terjatuh saat menaiki
tangga menuju kelasnya, ia beranjak pergi dan akan segera mandi. Sekitar 3 jam
lagi ia akan pergi menuju kediaman pak wali kota, ia menyempatkan untuk membaca
buku.
Dalam
suasana yang hening, terdengar ketukan dari luar pintu yang bergema.
“Kak,
aku boleh masuk?”
“Ya,
masuk saja.”
“Ini
obat untuk dioleskan di lukamu, Kak. Sedang membaca buku apa?” Adiknya juga
menyadari luka di bibir Kakaknya, kemudian ia berjalan mendekati Kakaknya,
“Terima
kasih, Sophie. Kakak menghargai pemberianmu ini. Jadi, sekarang sudah tidak
marah lagi?”
“Aku
tidak marah sama kakak, tadi aku hanya kesal sama papa karena dia menyuruhku untuk
segera pulang. Padahal, saat itu aku sedang asyik bermain Ouija bersama
temanku.”
***
Mereka
mulai pergi meninggalkan rumah menuju kediaman pak wali kota yang jaraknya
cukup jauh dari rumah. Di tengah riuhnya lalu lintas, kendaraan mereka melaju
melalui jalan raya yang menggeliat. Karl duduk bersama adiknya di bagian bangku
belakang, mereka tertidur sepanjang perjalanan. Tak terasa, perjalanan cukup
panjang yang dilalui membawanya menuju rumah pak wali kota.
Wartawan yang sudah berada di sana
langsung mengerubungi keluarga itu, terus memotret, juga mewawancarai terkait pertemuan
tersebut. Setelah terlepas dari kejaran para wartawan, mereka mulai masuk ke
rumah kediaman pak wali kota, mereka disambut dengan baik.
Mereka diarahkan menuju ruang makan,
dan dijamu dengan berbagai macam makanan dan minuman. Pak wali kota dan Papanya
Karl mengobrol terkait pekerjaan mereka, sedangkan yang lain hanya menyimak
saja. Hingga pak wali kota bertanya tentang kehidupan Karl, “Tak terasa, kamu
sudah sebesar ini Karl, terakhir kali bertemu kamu masih kecil saat itu.
Sekarang sudah kelas berapa?”
“Sudah kelas 12 SMA Pak,” jawab Karl
dengan senyuman hangat di wajahnya.
“Ngomong-ngomong itu bibirmu
kenapa?” tanya pak wali kota.
“Ohh, saya terjatuh saat menaiki
tangga menuju kelas pagi tadi.” Papanya menatap wajah anaknya, ia tidak
menyadari hal itu sejak di rumah.
“Dia anak berprestasi di sekolah, selalu
menduduki peringkat pertama di kelasnya. Kepintarannya tentu menurun dari
papanya.” Karl tertawa formalitas mendengar ucapan Papanya, begitupun yang
lain.
Makan siang pada hari itu selesai,
Karl dan Adiknya berjalan menuju mobil mereka, sedangkan orang tuanya masih
mengobrol di dalam.
“Kepintarannya
menurun dari Papanya? Haha,” ucap Adiknya ketika di dalam mobil. Mereka pun menertawai
setiap ucapan-ucapan yang dilontarkan Papanya saat makan siang tadi. Pencitraan
saja, kata mereka.
Senyum sumringah terukir di wajah Papanya
ketika ia mulai memutar kunci kontak, menghidupkan mesin mobilnya dan perlahan
keluar dari garasi. “Sepertinya Papa akan mendapatkan posisi itu berkat uluran
tangan pak wali kota,” ucap Papanya. Semua mengucap syukur karena itu.
Setelah perjalanan panjang akhirnya
mereka sampai di rumah, Karl terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Kemudian ketika
ia berjalan menuju kamarnya, Papanya memanggilnya untuk menemuinya di ruang
kerja. “Kamu habis berkelahi, ya?” seru sang ayah. “Tidak, aku hanya terjatuh ketika
menaiki tangga pagi tadi.”
Papanya mulai mendekat dan kembali
menanyakan pertanyaan yang sama, dan Karl tetap tidak mau mengakuinya. Papanya mendorong
ke tembok dan menahannya.
“Masih
tidak mau mengaku? Jawab pertanyaan Papa dengan jujur.” Dengan napas
terengah-engah, iapun mengakui hal itu. “Ya. Maafkan aku Pa.”
“Dengar
ya, sekali lagi Papa tahu kamu berkelahi, Papa tak segan-segan akan menghukum
kamu. Berhati-hatilah dalam bersikap di luar sana, bagaimana jika nama Papa
menjadi buruk ketika mereka tahu anak seorang anggota dewan ini melakukan hal-hal
buruk diluar.”
“I-iya
Pa. Maaf.” Papanya melepas sikunya dari dada Karl dan menyuruhnya untuk kembali
ke kamar.
Karl
bergegas menuju kamar, wajahnya dipenuhi dengan ekspresi ketegangan. Matanya
berkilat marah, dan kedua tangannya menggenggam erat. Dengan napas yang
terengah-engah, dia mendekati tembok di dekatnya.
Tanpa
ragu, Karl melemparkan tinjunya ke tembok dengan keras. Suara gemuruh
terdengar, menyiratkan kekesalan yang mendalam. Pukulan itu dilakukan dengan
begitu kuat, hingga kedua tangannya itu terasa sakit. Namun, rasa sakit di
tangan tidak sebanding dengan kemarahan yang melanda pikirannya.
Dalam keheningan, tampaknya dia mencoba meredakan kemarahannya yang meluap-luap. Karl mulai menghela napas dalam, mencoba mengembalikan ketenangan pikiran yang sebelumnya terganggu oleh gelombang kemarahan.
***
Bulan
perlahan menghilang dari pandangan dan bertukar dengan matahari yang perlahan menampakkan
diri di atas garis cakrawala. Karl sudah bersiap-siap untuk berangkat ke
sekolah. Di tengah cuaca pagi yang cerah, ia mengendarai motornya di sepanjang
jalan raya yang masih sepi, menikmati kesunyian dan keindahan kota yang terlihat
menawan saat sepi.
Karl
memakirkan motornya, dan mulai berjalan menuju ruang kelas. Sebuah motor melaju
dari arah belakang dan baru saja melewatinya. Biasanya di setiap pagi motor itu
selalu mengganggunya.
Bab VIII
Pertemuan Yang Tak Direncanakan
Di
pagi yang cerah, Chandra mengenakan kacamata hitamnya sambil menikung motornya
di jalanan yang sepi, memberikan sentuhan penuh gaya. Sampailah ia di sekolah,
menuju tempat parkir, memakirkan motornya dan berjalan menuju ruang kelasnya.
Seharusnya, ia masih duduk di samping Karl. Namun, karena ia masih tidak terima
dengan perkataan Karl kemarin, ia berbicara dengan Musa untuk bertukar tempat
duduk. Karl terlihat tidak peduli dengan hal itu.
Pelajaran pada pagi itu diawali
dengan mata pelajaran Matematika Peminatan oleh Bu Rifdah, dengan materi yang
masih sama seperti kemarin yaitu “Limit Fungsi Trigonometri”.
Pelajaran pertama telah usai,
waktunya istirahat. Chandra dan Laura bergegas menuju kantin, terlihat di sana
sudah ramai orang yang sedang makan di tempat makan yang disediakan. Ketika
Chandra dan Laura sedang mengantri untuk membeli makanan, mereka tidak sengaja
mendengar pembicaran sekelompok anak.
“Saya
baru tahu, Karl itu anak adopsi di keluarganya,” seru seorang anak. “Saya puas
ketika Chandra memberi pelajaran pada anak itu, anak pungut banyak gaya.” Mendengar
itu, Chandra menendang meja makan mereka dan meminta mereka menghentikan
obrolan itu.
“Anak adopsi dan anak pungut, jelas
berbeda maknanya,” pungkas Chandra dan ia pergi meninggalkan mereka. Chandra
dan Laura makan di pojok ruangan dan mengobrol tentang banyak hal, Laura cukup penasaran
dengan obrolan Chandra dengan gurunya kemarin, ia memaksa Chandra untuk bercerita,
“Saat sampai di ruang guru, aku
langsung di interogasi oleh wali kelas. Hal yang mereka tanyakan pertama adalah
mengapa aku memulai perkelahian itu.” Laura mendengarkan dengan penuh perhatian
ketika Chandra bercerita. “Lalu?”
“Tidak lama dari itu, Karl datang
karena ingin meminta izin untuk pulang. Ia juga dipanggil guru itu, namun ia
tidak ditanya pertanyaan sama sepertiku.”
“Apa yang guru itu tanyakan?” tanya
Laura dengan raut penasaran.
“Guru itu menanyakan bagaimana kabar
Karl setelah perkelahian itu, juga menanyakan apakah dia terluka atau tidak.”
“Ha? Tidak adil. Bagaimana bisa
kalian diperlakukan berbeda.” Muka Laura memerah saat mengatakannya.
“Tahu kan dia anaknya siapa? Karena
kejadian kemarin, aku mendapat surat peringatan dari sekolah,” sambung Chandra.
Laura menggebrak meja, dan seketika orang-orang di sana memperhatikan mereka.
Bel berbunyi, Chandra dan Laura
bergegas menghabiskan makanan mereka dan pergi menuju kelas.
Hingga
tiba waktu kepulangan, Chandra dan Laura berjalan menuju tempat parkir, mereka mulai
berpisah dengan lambaian tangan. Dengan kecepatan sedang, Chandra memandu
motornya melalui jalan yang berliku-liku, menikmati ricuhnya suasana kota di
sekelilingnya.
🎶 …
Life's
like a road that you travel on
When
there's one day here, and the next day gone
Sometimes
you bend, sometimes you stand
Sometimes
you turn your back to the wind
There's
a world outside every darkened door
Where
blues won't haunt you anymore
Where
the brave are free and lovers soar
Come
ride with me to the distant shore
We
won't hesitate
To
break down the garden gate
There's
not much time left today, yeah
Life
is a highway
I
wanna ride it all night long
If
you're goin' my way
Well,
I wanna drive it all night long
…
Sampailah
ia di tempatnya bekerja, ia masuk dan menyapa teman-teman kerjanya. Waktunya
shift berganti, ia mengganti seragam sekolah menjadi seragamnya bekerja.
Pelanggan yang datang sore itu cukup banyak, kebanyakan dari mereka ingin
mencari barang-barang yang sedang viral. Banyak orang yang juga membawa
kamera dan membuat konten di sosial media untuk mencoba hal-hal yang sedang viral.
Syukur ucapnya, banyak orang yang datang ingin berbelanja.
Matahari
sudah tenggelam, bulan berkesempatan untuk menampakkan dirinya di langit malam.
Chandra masih melayani pelanggan-pelanggan yang ingin membayar, hingga ia sadar
siapa yang datang berbelanja malam itu.
“Karl?”
“Eh?
Chandra,” jawab Karl dengan ekspresi terkejut.
“Pembayarannya
mau pakai apa?”
“Cash
saja.” Karl masih tidak percaya dengan orang yang ia temui malam itu, “Baik,
terima kasih.”
***
Chandra
sudah selesai dengan pekerjannya dan sudah kembali berganti menjadi shift malam.
Ia mengganti pakaiannya dan tak lupa ia juga berpamitan dengan teman-teman
kerjanya.
Saat
ia melangkah keluar, ia tak menyangka Karl masih berada disana, ia duduk mengemper
di halaman depan. Chandra memanggilnya. “Di seberang sana ada warmindo
tuh, ayo makan kesana! Saya yang traktir malam ini,” seru Karl.
Bab Selanjutnya: https://pearlail.blogspot.com/2024/07/novel-melodi-numerik-oleh-mutiara-laily_68.html